Ramen Imam Bonjol, Pilih Review Jujur atau Tipu-tipu?
Pilih mana? Review kuliner jujur atau tipu-tipu? Pertanyaan ini muncul seiring maraknya food blogger dan food vlogger yang aktif membuat konten. Sebagai penjelasan, food blogger membuat konten di blog dalam bentuk tulisan, sedangkan food vlogger membuat konten video.
Jika pertanyaan diajukan pada penikmat kuliner, pastinya akan pilih review jujur ya? Mereka gak mau kecewa. Udah mah harus meluangkan waktu dan uang untuk datang ke destinasi kuliner, eh ternyata zonk! Tempatnya jorok, makanannya gak enak dan harganya mahal.
Jawaban berbeda akan diberikan pemilik kuliner. Mereka maunya dapat review bagus, seperti makanannya enak dan nagih, ambience -nya bikin betah, konsumen pengen datang lagi dan seterusnya.
Jujurly, sebagai food blogger, saya lebih suka nulis apa adanya. Gak ditambahin, dan gak ada yang ditutupi. Tapi … gak enak hati jika review berdasarkan permintaan pemilik kuliner. Padahal gak ada fee lho, kita hanya dapat makanan gratis.
Hahaha yaiyalah ya? Jika gak dapat menu makanan yang dijual, apa yang mau kita review?
Dukungan pada UMKM merupakan alasan banyak food blogger tetap me-review walau harus merogoh kocek sendiri untuk biaya transportasi, biaya internet dan biaya lainnya. Hasil review-an juga selalu bagus.
Beda halnya ketika datang ke suatu destinasi bukan berdasarkan permintaan pemiliknya. Tentu saja harus membayar makanan yang disantap. Tapi kita bebas membuat konten.
Seperti tentang Ayam Bakar Sederhana yang ditulis Teh Okti Li, Blogger Cianjur yang telah saya kenal selama belasan tahun. Fahmi, anak semata wayang (sementara ini belum nambah 😊😊) Teh Okti suka banget ayam bakar ini, walau orangtuanya udah bosen bahkan eneg mencium baunya
Baca juga:
Resep Banana Bread Luvita Ho dan Sejarah Banana Bread
Pengalaman Menginap di Hotel Syariah dan 5 Faktanya!
Daftar Isi:
- Polemik Review Jujur atau Review Tipu-tipu
- Review Jujur yang Bikin Gonjang Ganjing
- Review Ramen Imam Bonjol
Sebetulnya boleh gak sih membuat konten jujur? William Anderson. pemilik akun TikTok dan YouTube bernama Codeblu, punya opini yang menarik: “Makanan itu kan sudah kita beli, jadi bebas dong mau kita apain, termasuk dibuat konten.”
Saya setuju dengan Codeblu. Kasihan banget jika ada yang terpikat konten kita. Jarak jauh pun dia lakoni, eh ternyata rasa masakannya mengecewakan. Bukankah sebagai content creator dianggap telah membohongi mereka dan akhirnya konten kita gak dipercaya?
Bagaimana apabila pemilik usaha merasa gusar?
Manusiawi sih. Gak mudah menerima kritik. Tentang apa pun. Khusus terkait review content creator, alih-alih gusar, sebaiknya dia melihat ini sebagai keuntungan. Tanpa dibayar, ada content creator yang bersedia membuat konten tentang usahanya.
Untuk memaksimalkan konten, sang pemilik usaha bisa membuat konten yang berisi ucapan terimakasih dan janji untuk perbaikan (kualitas makanan, layanan dan lainnya).
Sehingga diharapkan semakin banyak konten positif dan pelanggan pun berdatangan.
Tentunya ini kondisi ideal ya? Faktanya banyak yang tulalit. Berakhir gonjang ganjing serta merembet keluar jalur. Salah satunya kisah berikut ini:
sumber: sripoku.com |
Review Jujur yang Bikin Gonjang Ganjing
Kisah berawal ketika September 2023, Aa Juju, pemilik akun @makanlurr mengunggah konten tentang warung makan Nyak Kopsah. Dia mereview jujur dengan bercerita bahwa warung makan milik Madun ini, terletak di samping aliran sungai yang menguarkan bau tak sedap.
Juju juga menyorot tempat makan lesehan yang jorok. Bekas pengunjung, seperti tisu, sisa nasi, lauk-pauk, sambal dan lainnya berserakan, tidak segera dibersihkan.
Rasa makanan tidak spesial tapi harganya mahal. Tambah membagongkan, ketika Juju dan kawan-kawan mau membawa pulang sisa makanan yang masih banyak, bukannya dibantu dikemas, malah diberi keresek merah. Gak heran Juju berkomentar “Mirip ngebungkus sampah”.
Ya iyalah, pelayanan sesederhana itu pun tidak dilakukan warung Nyak Kopsah. Masa pelanggan disuruh ngebungkus sendiri makanan pakai keresek merah? Seingat saya, ibu-ibu yang mengemas sisa makanan sepulang arisan/pengajian, pasti pakai plastik khusus makanan deh, setelah itu baru dimasukkan ke kantong plastik.
Madun rupanya tidak bisa menerima warung makannya mendapat review buruk. Dia meng-upload video kemarahan tentang betapa usahanya yang telah berjalan 25 tahun berhasil membantu anak yatim, 5 orang janda dan seterusnya. Dia juga mengimbau agar content creator minta izin dulu sebelum me-review.
Selesai? Belum! Beberapa hari kemudian pemilik akun TikTok Codeblu, William Anderson bersama istrinya juga me-review warung makan Nyak Kopsah. Hasil review-nya lebih buruk karena langsung menyasar rasa makanan dan harganya.
“Ini bukan fuyunghai tapi bakwan,” kata William sambil mengorek-orek fuyunghai yang didominasi tepung. “Gak nemu udang,” lanjutnya. Malah William menganggap fuyunghai udang jamur yang dibelinya seharga Rp 65.000 lebih mirip sampah.
(Melihat tampilannya, saya setuju. Mungkin karena dibungkus plastik gitu aja. Andai dikemas dalam kotak-kotak plastik, tampilannya bakal lebih lumayan).
Dalam unggahannya, William menulis secara detail berikut ini:
Penilaian ini adalah pendapat saya tentang makanan yang saya makan.
1. Mix oseng Rp75.000,-
Protein yang dipakai adalah daging yang sudah berkali kali di masak di api yang rendah, menghasilkan texture daging yang alot, keras dan kering. Daging seafood protein nya kurang segar sehingga cumi nya benyek saat dimakan, ada yang keras sekali seperti karet, masih kotor dengan mata cumi, mulut cumi dll, sangat tidak layak, udang nya tidak dibersihkan, masih banyak kotoran di punggung dan kaki, tidak higienis dan kering berpasir saat dikunyah.
2. Cumi saus padang Rp 65.000,-
Cumi nya sangat kotor tidak di bersihkan, sangat beragam texture ada yg benyek ada yang alot sekali.
Bumbh yang dipakai cukup lumayan generous, saya merasakan ada bawang putih, bawang bombay, bw merah, daun bawang, jahe, tomat, paprika, lengkuas, lada, dll
3. Ayam rica rica Rp 35.000,-
Ayam seperti ayam yang sudah dimasak terlalu lama, tetapi dalam nya tidak resap. Keras sekali bercangkang kuliat ayam nya.
4. Telur dadar Rp 10.000,- dan sambel lencah Rp 15.000,-
Lencah fresh sambel pedas, aroma lencah terasa nikmat, porsi banyak karena pesan hanya setengah.
5. Tahu tempe Rp 10.000,-
Tahu sedikit bau asam, tempe sudah hampir rusak, berubah warna dan berbau.
6. Fuyunghay udang jamur Rp65.000,-
Setelah di bedah isinya banyak sayuran dan ayam suir, udang hanya sedikir sekali, jamur sedikit. Seperti nya menggunakan tepung berlebih saat di goreng api kebesaran luar matang dalam masih bertepung, saat dikunyah berbau gas. Saus hampir tidak ada rasa hanya sedikit asam dan encer.
7. Nasi setengah porsi Rp 20.000,-
Ini nasi biasa dimasak biasa bahkan tidak wangi, tetapi mahal sekali.
8.es teh Rp 3.000,- aqua Rp 5.000,-
Total bill Rp 303.000,-
Total yang di bayarkan Rp 315.000,-
Selisih Rp 12.000,-
Di akhir video, William memberi nilai antara 3 – 4 untuk rasa masakan warung Nyak Kopsah. “Di bawah 5,” kata vlogger yang kerap mereview sajian hotel berbintang ini
Untuk lebih jelasnya, silakan klik videonya ya?
Bagaimana reaksi Madun mendapat kritik keras dari William?
Anehnya kali ini yang maju adalah Farida Nurhan, Food Vlogger yang konon termasuk sesepuh. Bertambah aneh karena sebagai senior, isi kontennya body shaming, bukan tentang review makanan.
Farida mengejek penampilan William yang gak setampan Chef Juna, serta William telah menculik perempuan yang sekarang menjadi istrinya.
Karuan marah dong William. Gak pakai lama, berbekal segepok bukti, William melaporkan Farida ke Polda Metro Jaya atas tuduhan pencemaran nama baik.
Wuih serem ya?
Balik ke review makanan, sebetulnya ada gak sih regulasinya?
Ternyata ada. Saya tulis di next post ya? Kali ini review jujur tentang ramen di food court Jalan Imam Bonjol Bandung dulu ya?
Review Jujur Ramen Imam Bonjol
Salah pilih menu! Racikan ramen kok gini? Demikian kesimpulan saya dan anak saya setelah pesanan datang. Saya memesan ramen, sedangkan anak saya memesan udon.
Setelah cukup lama menunggu, datang sajian ramen dan udon yang nyaris sama! Hanya noodle-nya yang berbeda bentuk. Bentuk udon lebih gemuk montok, dibanding ramen yang langsing, mirip spaghetti.
udon pesanan anak saya |
Namun selebihnya sama. Baik kuah ramen maupun udon dihidangkan dengan kuah kemerahan. Toppingnya pun sama: sepotong telur rebus, wortel dengan potongan julienne, pakchoy, irisan bawang daun, rumput laut, serta kulit pangsit dan cabai kering untuk taburan.
Selain itu ada topping sesuai pilihan. Anak saya memilih topping ayam yang ternyata dicampur jamur kancing. Saya menyesal memesan topping daging sapi karena jumlahnya sedikit dan alot.
Mengapa salah pilih menu? Karena nampaknya penjual ini niche-nya chinese food, sehingga kokinya lebih piawai memasak chinese food dibanding masakan Jepang, Korea atau western food seperti steak iga sapi, sup asparagus yang terpampang di spanduk.
Jadi bisa ditebak rasanya kan? Yang pasti, anak saya gak bisa menghabiskan udonnya, padahal biasanya dia selalu tandas melahap jajanan maupun masakan rumah.
dagingnya dikit banget |
Bagaimana dengan ambience-nya? Beberapa reviewer food court Jalan Imam Bonjol Bandung, menulis sebaiknya take away, jangan makan di tempat. Saya setuju banget.
Sebetulnya saya dan anak saya datang ke sini untuk bernostalgia, nyicipin lomie yang dulu kerap kami santap sepulang dari sekolah mereka. Sayang kami datang hari Senin, gak tahu bahwa lomie yang terkenal dengan Lomie Imam Bonjol ini selalu tutup setiap hari Senin.
Dulu penjual lomie ini (bersama penjual makanan kaki lima lainnya) menggunakan gerobak di pinggir jalan Imam Bonjol Bandung Seiring waktu, rupanya ada pemilik rumah yang menyewakan sebagian lahannya. Maka terbentuklah pusat jajanan (food hall) di situ.
Si pemilik rupanya abai dengan kondisi rumah yang semakin tua dan kumuh. Sehingga sesuai fakta lapangan, sebaiknya take away aja. Tapi apabila perut udah keroncongan minta diisi, ya apa boleh buat, silakan makan di tempat.
Harganya cukup bersahabat kok, semangkok lomie/ramen/udon dan sejenisnya sekitar Rp 30 K – 50 K saja.
Baca juga:
Keberlanjutan, Kunci Sukses Berkebun Vania Febriyantie
WarungX-Treme Tanjungsari dan Hukum Review Kuliner
Area dalam food court Imam Bonjol |
Saya juga sempat kaget lho, ini fenomena apa? Kok review malah dibales hinaan frontal. Semoga semua berakhir baik dan masyarakat bisa lebih cerdas dalam bermedsos, termasuk mereview makanan.
ReplyDeleteBener banget mas Adi, terkadang saya juga lihat ketika ada orang atau pembeli mereview yg sifatnya agak kontra atau vocal, biasanya penjual tidak suka. Padahal harusnya dengan komentar atau review dari pelanggan bisa jadi evaluasi agar ke depannya pelayanan dan menu yang dihidangkan semakin lezat, sehingga bisnis bisa bertahan lama. Makasih kak Maria sudah review tempat makan di Bandung, tetap jujur dalam mereview makanan, supaya bisa jadi masukan bagi penjualnya juga.
DeleteSaya kalau sudah menemukan tempat yang "awful" seperti itu, apalagi dalam tahap parah soal kebersihan, biasanya saya langsung angkat kaki Mbak hahaha. Tanpa babibu, tak menghabiskan, tapi tetap membayar. Biasanya dengan cara ini, pihak resto akan paham dengan sendirinya. Kalo memang parah banget, biasanya saya minta kertas kecil, lalu saya tuliskan keluhan saya tersebut, taruh di meja.
ReplyDeleteDi Indonesia, tidak semua orang bisa menerima kritikan dengan hati lapang. Dan juga tidak semua orang bisa memilih diksi yang "aman" untuk diutarakan sebagai masukan. Jadi efek pengaruh mempengaruhinya kuat banget.
Jadi ingin mengomentari soal Bang Madun. Saya nonton reaksinya beberapa kali di media TV. Maaf, menurut saya karakter dan caranya berkomunikasi harus banyak dibenahi. Harus ada yang menasehati atau setidaknya memberi masukan. Ada salah seorang teman saya yang sempat makan di tempat Bang Madun ini. Confirm. Apa yang disampaikan oleh beberapa food vlogger, kondisinya memang begitu adanya (soal makanan dan tempatnya). Jadi seharusnya semua kritikan dijadikan masukan dan dalam rangka perbaikan.
DeleteMemang sebaiknya review jujur, karena kalo diperbagus-bagus terus ada yang datang eh zonk nah kan ini bikin nyesek. Paling tinggal pilih kata dan kalimat yang tidak terlalu menyudutkan atau menyakitkan
ReplyDeleteOh ini tempat makan di sebelah Lavie yaa, Ambu.
ReplyDeleteJujurly.. aku juga ga sreg ama tempatnya. Karena semua berbaur menjadi satu antara smoking area dan tidak.
Tapi kalo dibawa pulang, apa rasanya masih sama?
hehhe...
Suka rewel dan paling sejelek-jeleknya milih tempat yan terang di daerah deket yang jualan Lomie.
hohohoooo daku termasuk orang yg bbrp kali tertipuuuu oleh review para food vlogger Surabayaa.
ReplyDeletesampai sekarang masih berasa nyeseekk 😂💃 makanyaaa aku sekarang ufah mulaj unfollow bbrp akun, kuatir tertipu lagiiiii🤓🍦
eh nulis review makanan pun ada regulasinya? Wah saya baru tahu mbak, ditunggu di artikel selanjutnya ya.
ReplyDeleteKalau saya sih bikin review ya sesuka hati saya, berdasar apa yang saya lihat dan saya rasakan. Jadi kalimat, "udah dibeli, bebas dong mau dikontenin"
aku pilih review jujur sih, tapi dengan kalimat yang tidak menyakitkan ya... kalau review fake malah jadi gak dipercaya sama orang
ReplyDeleteSaya ngikuti review dari foodvlogger yang sempat viral itu. Bahkan sekarang ada juga katanya lho, restonya sampe bangkrut gegara habis direview. Entah hanya narasi berita atau beneran, wallahu a'lam. Kalau saya pribadi belum banyak nulis tentang review kuliner.
ReplyDelete